Selasa, 28 Juni 2011

Menikah Tanpa Pacaran.... Kok bisa?

Membaca sebuah blog yang ditulis oleh seorang teman tentang “MENIKAH TANPA PACARAN”. Aku kira it’s oke. Aku setuju dengan hal tersebut, walaupun aku sendiri bukan pelaku dari hal itu.

Aku dan mama Dhany bertemu dipertengahan tahun 1990, kami adalah teman satu kelas di SMA. Kami bertemu pada saat kami kelas satu SMA. Walaupun saat itu, aku sudah mulai tertarik dengannya, namun masih takut-takut dalam mengutarakan isi hatiku padanya. Namun karena sudah mulai ada “rasa” maka jika dia berdekatan dengan teman pria, ada rasa cemburu yang menjalar dihati. Aku jadi uring-uringan sendiri. Hal ini berlangsung selama tiga tahun. Kami lulus dari bangku SMA di tahun 1993.

Hingga di tahun 1998, kami bertemu kembali. Pada saat itu, aku sudah berani mengutarakan isi hatiku padanya. Namun karena pada saat itu, keadaanku masih dianggap sebagai “pengangguran”. Maka aku belum berani mengajaknya untuk berbicara tentang pernikahan.

Sebenarnya aku juga bukan pengangguran 100%, karena aku mempunyai kegiatan yang menghasilkan uang. Mulai dari beternak cacing, beternak jangkrik, yang saat itu sedang booming di tempat asalku. Ada juga aku mempunyai perusahaan kecil yang bergerak dibidang perdagangan. Namun karena aku tidak bekerja secara formal, maka aku masih dianggap sebagai pengangguran oleh masyarakat sekitar.

Maka diakhir tahun 1998, aku mencoba melangkahkan kaki menuju  jakarta. Kota metropolitan.  Yang kata orang, mengadu untung disana biasanya lebih baik. Selama dua tahun aku hilir mudik dijakarta mencari pekerjaan. Walaupun aku lompat sana sini untuk sekedar hidup, dari mulai jual pepaya di daerah cimanggis, mendaur ulang ban mobil bekas, hingga menjadi penjaga villa di Bandung. Semua sudah pernah aku lakukan.

Hingga di tahun 2000, mama Dhany berangkat juga kejakarta. Dan bekerja disalah satu perusahaan didaerah cengkareng, jakarta barat. Aku masih menjadi penjaga villa didaerah Bandung selatan waktu itu. Hingga akhirnya berkat relasi seorang teman SMA juga, aku bisa bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar, diwilayah Tangerang.  

Diperusahaan tersebut, aku diterima sebagai karyawan yang ditempatkan di bagian laboratorium printing.  Sebuah tempat yang bagus. Disana aku mulai belajar bagaimana merumuskan warna yang cocok dengan gambar yang dipesan oleh klien.

Diakhir tahun 2000, aku mencoba menghubungi mama Dhany yang waktu itu berstatus sebagai pacar, untuk mengajaknya menikah. Dan  gayungpun bersambut, dia menerimanya. Hingga tepat diawal bulan januari tahun 2001 kami menikah. Ijab qobul dipimpin langsung oleh ayah mertuaku. Disaksikan oleh petugas KUA dan para tamu undangan lainnya.

Satu tahun berselang, tepatnya dibulan february 2002, anak pertamaku lahir. Kuberi nama dia DHANY. Anak yang lahir karena buah cinta kami. Tiga tahun kemudian, anak keduaku lahir. Dan kuberi nama DHAVY. Anak-anak kami tumbuh bersama dengan cinta kami. Hingga usia perkawinan kami saat ini menginkak 11 tahun lebih.

Diakhir tahun 2007 silam, kami mencoba peruntungan kami dikota yang baru berkembang, Mamuju. Kami bergabung dalam sebuah organisasi islam yang katanya terbesar di Mamuju kala itu. Di organisasi itu, tidak dikenal kata pacaran. Menurut mereka, itulah islam. Mereka menyatukan pria dan wanita didalam ikatan perkawinan tanpa berkenalan satu sama lain. “Ga masuk akal.” Kataku saat itu.

Namun ternyata, semua orang yang ada diorganisasi itu, memang melakukan hal yang sama. “Lho, kok bisa ya..?” itu pertanyaanku kala itu. Maklum aku nggak paham dengan hal-hal seperti itu.
“Mengapa islam melarang pacaran? Bukankah pacaran diperlukan untuk mengenal calon pasangan lebih dalam, hingga bisa tercipta komunikasi diantara pasangan tersebut? Ah, kalau pacaran itu menimbukan maksiat, itu mah tergantung sama pelakunya aja...” Itu yang ada dibenakku kala itu.

Tapi ternyata aku salah. Arti maksiat, hanya aku tafsirkan dengan sempit. Hanya sebatas Zina besar, Judi, minum-minuman keras, mencuri, dan lain sebagainya yang berbau dengan dosa yang berakibat fatal secara langsung. Sedangkan dosa-dosa yang berkibat tidak secara langsung, tidak aku kategorikan sebagai maksiat. Itulah kesalahan ku.

Bayangkan yang terjadi jika kita pacaran, bukannya bersyukur atas karunia Tuhan yang kita terima hari ini, justru kita merencanakan “perjalanan” dengan pacar. Ketika sang pacar berbicara dengan lelaki lain, yang ada rasa cemburu sudah menggelegak didada. Kecurigaan, su’udzon alias berburuk sangka sudah ada dipikiran kita. Hingga bukan lagi senyum yang keluar dari bibir kita, namun makian dan umpatan. Apakah hal itu bukan maksiat?

Jika ada masalah dengan sang pacar, baru kita mau bertemu dengan Tuhan. Emang Tuhan kerja di BUMN yang punya motto “mengatasi masalah tanpa masalah”? Salah besar, Bro! Permasalahan nya terletak pada aqidah. Sering bagi kita mengatakan Tuhan itu satu, Tuhan itu Esa, dan sebagainya... kenyataannya... perintah Tuhan tidak kita jalani. Sholat sering kita tinggalkan. Tapi permintaan pacar langsung kita kerjakan. Sebetulnya siapa yang jadi Tuhan?

Itu hanya satu permasalahan, bro! Masih banyak efek yang lain. Dan semua efek itu selalu membekas dalam hati.Ada seorang bekas pacar, menghubungi disaat kita sudah sama-sama menikah. Walaupun dilisan kita mengatakan sudah tidak ada apa-apa lagi, dia kini sudah jadi teman biasa. Tapi jika pasangan kita tahu, kalau itu adalah bekas pacar kita, bagaimana? Apakah ada jaminan tidak membuatnya cemburu? Dan apakah ada jaminan kalau pikiran dan hati kita tidak membayang lagi kemasa lalu? Dan apakah kita sudah kuat untuk tidak mencoba mengulangi masa manis dengan sang mantan?

Minimal itu dulu yang kita pahami. Mengapa islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk berpacaran. Maka itu, buat para generasi muda, buat apa pacaran? Jika memang sudah mampu, segerakan perkawinan. Kalau komunikasi yang jadi masalah, itu sebenarnya bukan masalah. Yang jadi masalah sebenarnya hanya nafsu. “Coba kalau...., coba kalau...., seandainya...,” dan sebagainya.

Bahkan dulu sempat saya baca dari sebuah buku, ”Tidak ada yang namanya cinta bagi laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Yang ada hanya nafsu. Nafsu untuk saling memiliki, nafsu untuk saling menguasai. Karena cinta yang sesungguhnya akan datang ketika sudah menikah. Cinta yang sesungguhnya adalah memberikan yang terbaik. Dan jika sudah menikahlah hal itu bisa terjadi. Itu menurut buku yang saya baca.

Tapi, memang keputusan itu ada ditangan setiap pelakunya. Hidup adalah pilihan. Terserah kita mau ambil yang mana. Ga ada paksaan. Ada pendapat lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar